Matematika :

Jun 10, 2011

Kenapa Guru Harus Menulis?

Abdus Salam
Guru di STISIP Muhammadiyah Madiun

Gagasan yang dilakukan Ikatan Guru Indonesia (IGI) bekerja sama sama dengan harian Kompas dan Surya melakukan pelatihan Guru Menulis di Media Masa, akhir Oktober 2010 silam di Surabaya, patut diapresiasi semua pihak. Utamanya IGI, Kompas dan Surya yang telah memberikan ruang dan waktu untuk meningkatkan kapasitas para guru untuk bisa menulis di media massa.

Kegiatan yang dihadiri 480 orang peserta ini dari berbagai sekolah di sejumlah kota di Jawa Timur itu memberikan kontribusi positif, utamanya bagi para guru yang berkutat dengan dunia pendidikan. Bahkan, Mendiknas Muhamad Nuh sangat mengapresiasi kegiatan tersebut.

Mengingat keterbatasan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan dan profesionalisme guru seperti diakui Mendiknas di depan peserta pelatihan. Oleh karena itu, dukungan pihak ketiga seperti Kompas dan Surya yang turut membantu melakukan pelatihan terhadap guru agar lebih kreatif dan produktif, utamanya dalam hal menulis di media massa.

Tidak bisa dimungkiri bahwa guru adalah kelompok intektual yang berkutat dengan dunia keilmuan. Transformasi pengetahuan terhadap peserta didik menjadi mutlak adanya. Tentunya seorang guru tidak hanya berhenti pada transformasi pengetahuan yang verbalistik.

Lebih dari itu, guru dituntut untuk lebih produktif dalam memberikan pencerahan terhadap masyarakat melalui karya tekstual seperti menulis di media maupun melalui jurnal pendidikan, pengetahuan bahkan buku yang berkaitan dengan dunia pendidikan.

Guru, digugu lan ditiru (menjadi panutan dan contoh) menjadi adagium klasik yang sering dilekatkan pada sosok guru. Digugu lantaran seorang guru dinilai memiliki kelebihan oleh masyarakat, baik secara keilmuan maupun secara etika sosial. Pun, masyarakat akan meniru perilaku seorang guru karena guru adalah laboratorium pengetahuan di mana masyarakat akan bergantung pada seorang guru.

Banyak kasus yang menimpa para guru saat ini, masih banyak para guru (mulai tingkat SD-SMA) yang gagap teknologi (gaptek) sementara para peserta didiknya justru lebih piawai dan leluasa menjelajahi dunia teknologi seperti internet. Para murid justru lebih pintar dan tahu ketimbang guru mengenai dunia teknologi. Jika demikian yang terjadi, masih layakkah digugu atau ditiru guru yang tidak sigap dengan perkembangan zaman dan teknologi ini?

Paradoks adalah kata yang tepat bagi seorang guru jika pada awalnya dinilai masyarakat sebagai sumber pengetahuan sementara pada realitasnya yang terjadi sebaliknya. Sungguh ironis jika mengaca data yang disampaikan Mendiknas bahwa tunjangan sertifikasi dan profesi tidak berbanding lurus dengan profesionalisme dan peningkatan kapasitas seorang guru, lebih-lebih dalam dunia menulis.

Mencermati data yang disampaikan Mendiknas bahwa jumlah guru golongan IVb hanya 0,87 persen, golongan IVc (0,007 persen), golongan IVd (0,002 persen). Tragisnya banyak guru yang tidak naik ke golongan IVb ke atas karena tidak bisa menghasilkan karya tulis ilmiah. Setidaknya sampai dengan November 2009 silam terdapat 569.611 guru (21,84 persen) yang golongannya terhenti di tataran IV/a. Tentunya, ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi para guru untuk berkarya melalui tulisan. 

No comments:

Post a Comment

Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini

 

© Copyright yusuf blog 2010 -2011 | Design by Yusuf Blog | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...