Manusia
cenderung egoistik, mementingkan diri sendiri. Egoisme merupakan suatu
kejahatan dan dipandang sebagai pelanggaran moral karena ia selalu mengabaikan
kepentingan orang lain. Egoisme membuat manusia jauh dari kebenaran dan
menyimpang dari petunjuk Tuhan. Egoisme, dengan demikian, dapat dipandang
sebagai penjara (belenggu) bagi manusia.
Dalam bahasa
agama, ego atau egoisme itu dinamai hawa nafsu. Perkataan hawa nafsu berasal
dari kata Arab. Hawa berarti keinginan dan al-nafs berarti diri manusia atau
kecenderungan dalam diri manusia. Jadi, hawa nafsu berarti kecenderungan dalam
diri manusia untuk selalu mengikuti hal-hal yang buruk.
Oleh karena
itu, manusia disuruh melawan dan mengendalikan hawa nafsu. Usaha manusia dalam
perjuangan melawan hawa nafsu ini tentu bertingkat-tingkat, tergantung pada
kemampuan dan kekuatan imannya. Dalam buku Mizan al-'Amal, Imam Ghazali
menyebutkan tiga tingkatan manusia dalam masalah ini.
Pertama,
orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawannya
sama sekali. Ini merupakan keadaan manusia pada umumnya. Dengan begitu, ia
sungguh telah mempertuhankan hawa nafsunya seperti dimaksud ayat ini, ''Maka,
pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.'' (Al-Jatsiyah:
23).
Kedua, orang
yang senantiasa dalam pertarungan melawan hawa nafsu. Pada suatu kali ia menang
dan pada kali yang lain ia kalah. Kalau maut merenggutnya dalam pertarungan
ini, maka ia tergolong mati syahid. Dikatakan demikian, karena ia sedang dalam
perjuangan melawan hawa nafsu sesuai perintah Nabi SAW, ''Berjuanglah kamu
melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.'' Ini
merupakan tingkatan manusia yang tinggi di bawah para nabi dan wali-wali Allah.
Ketiga,
orang yang sepenuhnya dapat menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya. Inilah
orang yang mendapat rahmat Allah, sehingga terjaga dan terpelihara dari
dosa-dosa dan maksiat. Menurut Ghazali, ini merupakan tingkatan para nabi dan
wali-wali Allah. Dalam perjuangan melawan hawa nafsu, menurut Ghazali, manusia
dituntut ekstra hati-hati dan waspada secara terus-menerus, supaya ia jangan tertipu
(ghurur). Kata Ghazali, banyak orang merasa telah bekerja dan berjuang untuk
agama, nusa, dan bangsa, padahal sesungguhnya ia bekerja hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri dan untuk memuaskan egonya.
Sikap
waspada juga diperlukan karena sering timbul kerancuan (iltibas) antara
perintah akal (kebaikan) dan nafsu (keburukan). Berbeda dengan nafsu, akal
secara umum menyuruh manusia kepada kebaikan. Namun, suatu saat kita bisa
ragu-ragu dan tidak mampu mengidentifikasi dan menetapkan pilihan.
Dalam situasi
demikian, Ghazali menganjurkan agar kita berpihak dan memilih sesuatu yang
menyusahkan daripada yang menyenangkan. Alasannya, kebaikan pada umumnya
menuntut kerja keras dan pengorbanan, sehingga terkesan menyusahkan. Kata Nabi,
''Surga dipagari oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka diliputi
oleh hal-hal yang menyenangkan.'' Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini