Manusia sering tidak mempertimbangkan keseimbangan
dan kelestarian alam dalam melakukan berbagai aktivitas pembangunan dan
kehidupannya. Oleh karena itu, sangatlah mungkin alam kehilangan daya dukungnya
dan memunculkan berbagai fenomena alam, seperti yang kita alami saat ini. Salah
satu fenomena yang paling populer dan aktual adalah anomali iklim.
Beberapa tahun terakhir kondisi cuaca menjadi tidak menentu dan tidak dapat
diprediksi. Meski kadang panasnya tinggi tapi selang berapa waktu dapat turun
hujan deras. Perputaran bumi mengelilingi matahari berpengaruh terhadap
pergantian musim. Hal ini mengakibatkan di belahan utara dan selatan secara
bergantian mengalami pergantian musim. Di Indonesia dikenal musim hujan dan
kemarau. Namun, beberapa tahun terakhir ini anomali cuaca berupa curah hujan di
atas normal pada musim kemarau sudah sering terjadi di tiap tahunnya. Indonesia
sendiri sudah sering mengalami kemarau basah, yang artinya di musim kemarau
yang seharusnya kering tapi masih terjadi hujan.
Menurut Kepala Bidang Informasi Klimatologi dan Kualitas Udara Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika hal ini merupakan dampak
memanasnya suhu muka laut di wilayah Indonesia dan adanya fenomena La Nina di
Samudra Pasifik. Di samping itu, munculnya angin timuran hingga Oktober juga
menyebabkan naiknya gelombang laut di selatan Jawa dan Laut Arafuru. La Nina
yang ditunjukkan oleh mendinginnya suhu muka laut di Pasifik Tengah saat ini
meningkat dari kondisi lemah menjadi ke tingkat moderat atau sedang. Hal ini
berdampak pada naiknya aliran massa udara dari kawasan Pasifik ke wilayah
Indonesia hingga mengakibatkan banyak hujan (Kompas,6/7/2010).
Bulan Agustus yang seharusnya musim kemarau, dalam kenyatanya hujan masih
sering mengguyur, sehingga Jakarta dilanda banjir akibat meluapnya Kali
Pesanggrahan di bulan-bulan kemarau. Begitu juga di Ciamis banjir bandang
menerjang permukiman. Musim kemarau yang mestinya hangat dengan kelembaban
rendah telah berubah, kini terbukti perubahan iklim sungguh terjadi, di negara
lain juga terjadi fenomena yang menyimpang. Contohnya musim dingin hebat di
Eropa, banjir beberapa negara bagian Australia dan munculnya musim kemarau
basah.
Anomali iklim juga berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. Jika tanpa
penanganan serius dampak anomali iklim bukan tidak mungkin menyebabkan
kesulitan pangan karena berkurangnya suplai pangan akibat gagal panen. Ancaman
krisis pangan sudah ada di depan mata kita, baik di Indonesia (dalam negeri)
maupun di tingkat dunia.
Dampak Negatif dari Anomali Iklim
Pada akhir-akhir ini musim kemarau di Indonesia berlangsung lebih singkat,
yaitu hanya sekitar empat bulan. Anomali iklim ini jelas memberikan dampak pada
produktivitas dan kualitas produk pertanian, baik komoditas pangan maupun
komoditas holtikultura. Demikian juga berkembangnya hama penyakit tanaman,
penyerbukan menjadi tidak sempurna, dan pergeseran musim tanam berpengaruh
serius terhadap kondisi petani. Sebagai contoh, tingkat produktivitas kentang
per hektarenya menurun, dari rata-rata 16 ton per hektare, turun hanya mencapai
13 ton per hektar (Warta Bumi,29/7/2010).
Kondisi lahan yang lembab karena hujan yang salah musim mengakibatkan daun dan
batang kentang cepat layu, sehingga pertumbuhan umbi kentang tidak maksimal.
Membusuknya kedelai adalah contoh lain dari buruknya dampak dari anomali iklim.
Bisa dibayangkan, ketergantungan kita pada impor kedelai semakin besar.
Demikian juga perubahan pola tanam yang dilakukan oleh sejumlah petani di
berbagai wilayah di Pulau Jawa misalnya, tidak serta-merta mendongkrak
penghasilan petani. Bahkan ada kecenderungan menurun, dikarenakan panen yang
dihasilkan kurang optimal. Jelas sekali, anomali iklim memberikan dampak buruk
terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama petani yang nafkah usahanya sangat
bergantung pada iklim.
Cuaca dan iklim yang tak menentu membuat banyak gagal panen pada sejumlah
tanaman lain, termasuk akhir akhir ini membuat harga cabe membubung. Pada masa
tanam, yakni bulan Juli, yang seharusnya kering faktanya banyak guyuran hujan,
sehingga membuat tanaman tembakau menjadi busuk. Beberapa tumbuhan yang peka
akan suhu dan kelembaban pasti terganggu pertumbuhannya. Tumbuhan tertentu
membutuhkan temperatur dan kelembaban tertentu untuk berbunga kemudian berbuah.
Namun, karena temperatur dan kelembaban telah menjadi tidak menentu, maka hasil
optimal tidak bisa diharapkan seperti semula.
Di samping itu di beberapa negara, terutama Asia, mengalami bencana beruntun
berupa banjir bandang, tanah longsor dan tsunami yang tidak hanya menelan
korban materi, tetapi juga jiwa manusia. Demikian di sejumlah kawasan di
Australia terjadi banjir hebat, di mana fenomena banjir adalah hal yang langka
mengingat curah hujan di benua tersebut relatif kecil dibanding negara-negara
di Asia. Demikian juga di Jepang dan Eropa, musim salju di masa sekarang jauh
lebih tebal dan lebih merata di sejumlah kawasan. Perubahan fenomena yang
sifatnya mendadak seperti ini kadang tidak terpikir untuk diantisipasi
sebelumnya. Akibatnya banyak kerugian jiwa, materi dan kesempatan bisnis yang
hilang harus terjadi.
Pola Adaptasi Petani
Jika dicermati saat musim kemarau basah beberapa wilayah berpola monsun dapat
melihat aspek positif dari anomali iklim ini. Curah hujan yang di atas normal
pada musim kemarau ini secara umum berdampak positif bagi wilayah yang
dipengaruhi tipe cuaca monsun. Wilayah dengan pola monsun hanya mengalami
puncak hujan sekali setahun dan mengalami periode musim kemarau pada April
hingga September dan musim hujan pada Oktober sampai Maret. Pada daerah yang
berpola monsun dapat menambah satu masa tanam dengan menanam palawija atau
sayuran. Daerah-daerah tersebut, antara lain, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera
Selatan, dan Sulawesi Selatan (Kompas,7/7/2010).
Memanfaatkan musim kemarau basah, para petani di daerah tersebut dapat dua kali
menanam padi dan satu kali tanam palawija tahun ini. Petani yang menanam padi
pada awal Mei akan panen pada Agustus. Setelah itu mereka dapat kembali menanam
jenis tanaman yang berumur pendek, yaitu hortikultura yang dapat dipanen
sekitar satu bulan atau dua bulan berikutnya. Iklim yang tidak menentu
ini juga membuat sebagian besar petani di Bantul ,Yogyakarta, beralih
menanam komoditas lain (Kompas 24/8/2010). Mereka memilih komoditas yang
lebih tahan terhadap air dan kelembaban. Peralihan tersebut dilakukan untuk
menghindari risiko kegagalan panen.
Sebagai contoh di Dusun Kajor Wetan, Selopamioro, Bantul, baru kali ini dicoba
menanam kacang tanah dan jagung. Biasanya yang selalu ditanam adalah tembakau
saat kemarau tiba. Dari sisi ekonomi sebenarnya lebih menguntungkan tembakau,
tetapi kalau cuacanya tak menentu risikonya juga besar. Di desa ini ada sekitar
4.200 petani yang menanam tembakau di lahan sekitar 350 hektare (Kompas,1/10/2010).
Di musim kemarau meski kadang panasnya tinggi tapi selang berapa jam turun
hujan deras. Pada masa tanam sebelumnya, yakni bulan Juli, yang seharusnya
kering masih banyak hujan turun yang membuat tembakau membusuk. Untuk
menghindari kerugian besar karena rusaknya tembakau, petani pindah menanam
kacang tanah yang dianggap lebih tahan air. Bukan hanya petani tembakau,
tindakan serupa juga dilakukan petani kedelai di Kecamatan Bambanglipuro. Lahan
kedelai yang terendam air dapat dengan mudah membusuk. Akhirnya mereka memilih
bertanam padi dengan jenis yang lebih tahan air.
Pada dasarnya yang dapat dilakukan petani pada cuaca iklim yang tidak menentu
ini di antaranya adalah membuat pola tanam selingan secara berurutan, yaitu
padi-palawija-palawija. Diharapkan disetiap musim petani tetap dapat memetik
hasil walau penghasilannya berkurang dibanding semula. Hal lain yang bisa
dilakukan adalah memanfaatkan air tadah hujan yang ditampung di embung air
untuk dipompa ke ladang. Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan budidaya
dengan perendaman bibit lalu memberikan bahan asam humus dengan bahan organik
tinggi pada tanah.
Apa Peran Pemerintah?
Apa peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam membantu petani mengatasi
masalah tersebut? Walaupun upaya konkrit untuk itu sampai saat ini belum ada,
namun sebagai langkah awal minimum pemerintah harus berani memulai upaya
pemetaan ulang terhadap potensi iklim yang mungkin terjadi di seluruh kawasan
Indonesia. Dengan begitu potensi bisa dimanfaatkan dengan optimal, dan pola
tanam sedapat mungkin diadaptasikan dengan potensi tersebut.
Diharapkan Jika potensi iklim setiap wilayah dapat
dipetakan akan membantu dalam perancangan strategi pengembangan produk
pertanian unggulan masing-masing wilayah. Walaupun pemerintah masih harus
menghadapi tantangan, yaitu menyediakan data potensi iklim yang memadai sesuai
kebutuhan. Setiap muncul permasalahan yang dihadapi, harus menyadarkan kita
bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Surjono Hadi Sutjahjo
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini