“Orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”
(Al-Bayyinah [98]: 1).
Mukaddimah
Surat ini
turun setelah surat Al Thalaaq. Beberapa mufassir menyebutnya dengan surat “Lam
Yakun”. Dilihat dari periode turunnya wahyu, surat ini termasuk Madaniyah. Yang
termasauk berpendapat seperti ini Imam As Suyuti, dengan merujuk pada Ibnu
Abbas.
Namun
terdapat pendapat lain yang mengatakan surat ini tergolong Makkiyah. Misalnya
Ibnu Mardawaih, yang melanjutkan riwayat dari Aisyah.
Sedangkan
Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Dzilaalil Qur’an, menetapkan bahwa dari segi
riwayat, Surat Al-Bayyinah masuk kedalam periode Makkiyah. Tetapi, ditinjau
dari segi metode pengungkapan, kalimatnya tidaklah jauh kemungkinannya sebagai
surah Makkiyah.
Dan para
mufassir, baik yang salaf maupun khalaf, cenderung menggolongkan ke surat
Madaniyah.
Pengingkaran Kaum Kafir
Surah ini
diturunkan untuk menyanggah sikap kaum pengingkar. Mereka sebenarnya telah
menyaksikan cahaya kebenaran pada diri Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
(SAW), namun mereka memejamkan mata agar tidak melihatnya.
Demikian
pula para penyembah berhala dari kalangan bangsa Arab. Mengapa? Menurut
Muhammad Abduh, mereka telah terikat pada sikap taklid buta terhadap kebiasaan
dan tradisi nenek moyang mereka. Allah menuturkan penolakan mereka.
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka
menjawab, ‘(tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya…” (Luqman [31]: 21).
Keterangan ini memperkuat pendapat beberapa ulama. Bahwa di dalam hatinya, kaum
musyrikin membenarkan dan menerima sifat-sifat kenabian Muhammad SAW. Namun
mereka berbalik ingkar dan menolak saat Nabi terakhir itu telah berada di
tengah-tengah mereka.
Kebutuhan Prinsip Manusia
Tercatat
dalam sejarah bahwa dunia, saat Muhammad bin Abdullah ditasbihkan sebagai
Rasulullah, berada dalam kerusakan yang merata di semua penjuru. Seakan tidak
ada harapan untuk memperbaiki kecuali dengan risalah, manhaj (sistem) dan
gerakan syariat yang baru.
Inilah
yang ditegaskan oleh Allah Rabbul ’Alamin ”…takkan terlepas (dari kesesatan)
hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.” Imam at-Thabari menyebutkan
beberapa mufassir yang berpendapat bahwa orang-orang musyrik dan ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani), juga para penyembah-penyembah berhala, tidak akan berpindah
dari keyakinan dan ritual sesatnya hingga menerima kebenaran al-Qur’an.
Sayyid
Quthub menambahkan ”…pengutusan Muhammad SAW merupakan kebutuhan mendesak untuk
mengubah persepsi sesat dan perselisihan orang-orang kafir dan orang-orang
musyrik dari kalangan ahli kitab. Mereka tidak akan dapat beralih dari hal ini
tanpa diutusnya rasul.”
Apalagi,
secara historis –pra datangnya Muhammad SAW- mereka berada dalam nilai
kemanusiaan yang serendah-rendahnya (asfala saafilin). Kemudian datanglah
keterangan (bayyinah) dari Allah SWT yang menawarkan perbaikan status diri
untuk menjadi makhluk yang sebaik-baiknya (ahsanu taqwim). Dan inilah yang
merupakan kebutuhan prinsip manusia, kebutuhan yang menurut Imam Ibnu Qayyim,
melebihi kebutuhan terhadap hujan yang diturunkan ke bumi, udara yang berhembus
dan matahari yang menyinari dunia. Kebutuhan yang mengalahkan ketergantungan
fisik manusia terhadap makan dan minum.
Hidayah, Hak Allah
Ayat ini
juga mengisyaratkan wilayah absolut Allah SWT dalam meneteskan cahaya iman pada
diri manusia. Muhammad SAW dengan segala ketinggian derajat dan keimanannya,
kedekatan dan kecintaannya kepada Allah, hanya mampu mencapai wilayah
”hidayatur rusydi”, memberitahu dan menyampaikan jalan-jalan kebenaran tanpa
mampu mengubah keyakinan untuk mengikrarkan syahadatnya dan menerima Ke-Esa-an
Allah SWT, serta kenabian Muhammad SAW.
Allah SWT
menegaskan keterbatasan ini dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya…” (Al-Qashash [28]: 56).
Namun, bukan berarti pintu usaha tertutup dengan keterbatasan ini. Bahkan Allah
SWT selalu membuka jalan upaya untuk menggapai kebaikan-kebaikan dunia dan
akhirat. Dengan keagungan-Nya, Dia berfirman:
”…Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah –nasib- suatu kaum hingga kaum itu mengubah –nasib-
mereka sendiri…” (Ar-Rad [13]: 11).
Dengan jalur riwayat yang shahih, Imam Bukhari menukilkan satu pertanyaan yang
terlontar dari seorang sahabat kepada Rasulullah SAW. ”Ya Rasulullah, apakah
telah diketahui antara penghuni surga dan penduduk neraka?” Rasulullah SAW
menjawab ”Ya”. Kemudian sahabat itu masih bertanya, ”Lalu mengapa masih harus
berusaha?” Rasulullah SAW menimpali, ”Setiap manusia –harus- bertindak sesuai
yang telah dimudahkan untuknya.”
Wujud Cinta Allah.
Secara
tersirat –lewat pengungkapan-Nya sebanyak 114 kali- Allah menegaskan dan
menetapkan sifat cinta dan kasih sayang sebagai landasan kebijakan dan
perbuatan-Nya (Ar Rahman Ar Rahim). Tidak ada keputusan yang condong dan
berdasarkan kebencian, apalagi berbuah kezaliman terhadap hamba-Nya, hatta sang
hamba bertingkah seolah tak bertuhan, seakan tak akan kembali kepada Allah SWT.
Termasuk
ketetapan yang ditakdirkan saat sakaratul maut menjelang. Sebelum nafas
terakhir menutup peluang untuk bertaubat, terlebih dahulu Allah SWT memberikan
kesempatan agar syahadat tak ternoda oleh nafsu yang menghalangi.
Di akhir
ayat ini, Allah SWT berfirman :
حتى تأتيهم البينة
“Sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Diutuslah
seorang Nabi yang menjelaskan akan kesesatan dan kebodohan mereka, lalu
menerangkan jalan kebenaran dan mengajak mereka untuk bersama menitinya. Dan
tidak hanya sekali ajakan ini diserukan, para Rasul bahkan ada yang harus
menghabiskan ratusan tahun dengan umatnya, mengorbankan harta juga nyawa untuk
menegaskan bahwa tiada pilihan bagi mereka kecuali menerima Al Bayyinah,
kebenaran yang dikirimkan Allah SWT melalui Nabi dan kitab sucinya. Karena itu,
Allah SWT telah memproteksi kebijakan-Nya dengan firman-Nya:
”…setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang yang ingkar),
penjaga-penjaga (neraka) itu bertanya kepada mereka: ‘Apakah belum pernah
datang kepadamu (di dunia)?” ‘Benar ada, namun kami
mendustakannya..”(Al-Mulk[67]:8-9).
Mereka
mengakui dan membenarkan di yaumil qiyamah nanti, bahwa Allah SWT tidak
meninggalkan mereka dengan kesesatannya begitu saja. Ada utusan yang
mengingatkan, menyeru dan memampangkan jalan hidayah. Tapi karena kesombongan
dan hawa nafsu yang sangat tinggi, kebenaran yang ditawarkan tidak mendapat
respon positif dari mereka. Maka pantas Allah SWT membela diri:
”…agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
Rasul-rasul itu..” (An Nisa [4]:165).
Tiada
tuntutan, karena Allah SWT tidak dapat dipersalahkan. Rasul telah diutus, al-
Qur’an juga diturunkan. Kebenaran dipampangkan dan kebathilan diberitahukan.
Maka sebelum terlambat, benarkan dan terimalah kebenaran itu. Wallahu a’lam.
*Naspi Arsyad/Suara Hidayatullah PEBRUARI 2008
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini