Oleh : Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.
ABSTRAK
ABSTRAK
Hermeneutik yang dalam istilah sehari-hari diartikan sebagai interpretasi
atau penafsiran, pada awalnya merupakan metode penelitian dalam human sciences. Penerapan hermeneutik
dalam human sciences ini diawali oleh F. Schleiermacher dan W.
Dilthey, yang kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa pemikir sesudahnya
seperti Heidegger dan Gadamer. Dalam makalah ini akan ditunjukkan bahwa di
dalam sejarah perkembangannya, ilmu-ilmu alam atau natural science -
yang berkaitan erat dengan scientific
method, objectivity, dan rationality - juga melibatkan
unsur-unsur hermeneutik. Beberapa teori dalam ilmu-ilmu alam, misalnya dalam
fisika kuantum dan kosmologi, sebenarnya perupakan hasil
interpretasi-interpretasi para ilmuwan yang dalam sejarahnya dapat digantikan
oleh interpretasi-interpretasi baru atau yang oleh Kuhn disebut sebagai pergeseran paradigma dalam ilmu
pengetahuan. Dalam makalah ini akan diuraikan perkembangan pengertian
hermeneutik, dilanjutkan dengan diskusi keberadaan hermeneutik dalam ilmu-ilmu
alam, termasuk pergeseran paradigma Kuhn, dan diakhiri dengan uraian ringkas
beberapa penemuan atau teori dalam ilmu alam yang relevan.
Pendahuluan
Apakah
yang dimaksud dengan hermeneutik? Mengapa hermeneutik ditawarkan sebagai salah
satu metode penelitian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu sosial?
Apakah hermeneutik juga berlaku dalam ilmu-ilmu alam? Pertanyaan-pertanyaan
seperti itulah yang akan dicoba dijawab dalam makalah ini, dengan penekanan
pada pertanyaan terakhir, yang sebenarnya secara tidak langsung juga
menunjukkan bahwa metode penelitian ilmiah atau scientific method memiliki
keterbatasan-keterbatasan sehingga dalam situasi dan kondisi tertentu para
ilmuwan terpaksa menggunakan interpretasi untuk menjelaskan fenomena alam
tertentu.
Secara umum, ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dalam masa Aufklarung atau Zaman
Pencerahan beberapa tokoh filsafat seperti Auguste Comte, Ernst Mach, dan
para filsuf dalam Vienna Circle, berpendapat bahwa tidak perlu ada
perbedaan metode penelitian atau pendekatan dalam kedua kelompok ilmu
pengetahuan tersebut. Kesuksesan pendekatan (metode) ilmiah dalam ilmu-ilmu
alam yang berhasil menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi, diyakini
akan dapat diperoleh juga jika diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Pandangan
atau aliran semacam ini disebut aliran positivisme. Dalam perkembangannya,
usaha penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial menimbulkan
masalah, bukan saja dari segi keilmuan, tetapi juga segi kemanusiaan. Masalah
inilah yang akhirnya memunculkan metode-metode alternatif dalam ilmu-ilmu
sosial, yang salah satunya adalah hermeneutik atau penafsiran atau interpretasi.[1]
Ilmu alam berkembang sangat cepat. Dalam fisika misalnya, teori atau gagasan 50
tahun yang lalu jauh berbeda dengan teori atau gagasan 100 tahun yang lalu.
Gagasan mekanika Newton berbeda dengan gagasan mekanika
Kuantum. Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions,
yang terbit tahun 1963, menyebutkan bahwa dalam ilmu alam terjadi revolusi,
yaitu perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru yang begitu signifikan
dalam waktu yang singkat, misalnya paham geosentris digantikan oleh
paham heliosentris.[*] Perubahan-perubahan yang cepat dalam ilmu-ilmu alam
ini menimbulkan pertanyaan pertanyaan. Apakah teori atau pemahaman baru
diartikan lebih objektif daripada teori atau pemahaman lama? Benarkah objektivitas masih
merupakan salah satu ciri dalam ilmu alam?.[2] Dalam makalah ini, dengan
bantuan beberapa contoh nyata perkembangan dalam ilmu-ilmu alam, ditunjukkan
bahwa metode pendekatan hermeneutik yang sebenarnya pada awal mulanya bahkan
ditujukan untuk melawan paham positivisme, juga terdapat dalam ilmu-ilmu alam.
Perkembangan Pengertian Hermeneutik
Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang
pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun
yang non-kebahasaan. Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya
sastra lama dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme di
Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya
sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih bersifat
filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Pergeseran status ini
diawali oleh pandangan Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Sekarang,
hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik, tetapi
bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia dan
keberadaannya.
Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada
hakikatnya identik satu sama lain, yaituinterpretasi gramatikal dan interpretasi
psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap
orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami
pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari
pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami
kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar
belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya
terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami
dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi.
Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak
mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi
kedua persyaratan tersebut.[3]
Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni
interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap
pernyataan. Melalui rekonstruksi objektif-historis, ia bermaksud membahas
sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa sebagai keseluruhan. Melalui rekonstruksi
subjektif-historis, ia bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk ke
dalam pikiran seseorang. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas
hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada
pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami
diri sendiri. Jika diterapkan dalam bidang sains, sebagai contoh, untuk
memahami teori relativitas Einstein, maka sebaiknya kita juga berusaha
mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran Einstein tersebut.
Schleiermacher menegaskan adanya masalah hermeneutical circle atau lingkaran hermeneutik, yaitu
bahwa untuk memahami sebagian dari teks pembaca memerlukan pemahaman atas
konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami keseluruhan teks pembaca
memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks tersebut. Dengan demikian,
untuk dapat memahami suatu teks pembaca memerlukan pemahaman akan sumber-sumber
lain untuk membantu pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat
penulis. Hal ini juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya
penulis tersebut muncul.[4]
Wilhelm Dilthey (1833-1911) membedakan ilmu pengetahuan ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu
pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau
ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Perbedaan ini sangat penting
karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan
metodologi atau pendekatan yang berbeda. Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam
menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan
menggunakan metode yang sangat ketat, sedangkanGeisteswissenschaften atau
ilmu pengetahuan tentang batin manusia atau tentang hidup tidak dapat diterapi
dengan metode ilmiah seperti halnya pada Naturwissenschaften karena
ilmu-ilmu Geisteswissenschaften berhubungan
dengan hidup manusia.
Dilthey menyatakan bahwa metode atau pendekatan hermeneutik merupakan dasar
dari Geisteswissenschaften. Ia
tertarik pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang
bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah.
Persoalan pokok Dilthey adalah bagaimana menemukan metode lain untuk Geisteswissenschaften jika
metode ilmiah tidak dapat digunakan. Dari sinilah ia mulai melirik hermeneutik
sebagai metode untuk pembahasan Geisteswissenschaften.
Bagi seorang ilmuwan bidang sains, yang dapat menjadi objek penelitian objektif
dan ilmiahnya adalah benda-benda yang berada dalam dunia fisik, sedangkan
hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang bertalian dengan individu hanya dapat
dipahami dan diinterpretasikan. Menurut Dilthey, terhadap benda-benda di alam
kita hanya mampu "mengetahui", sedangkan terhadap manusia kita mengunakan
"pemahaman" dan "interpretasi" untuk "mengetahui"
manusia.[5]
Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau
pengarang melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri. Seorang
sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di
mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika
dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun
pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan
keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat
segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya
terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam
konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan.
Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan
metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.[6]
Pada tahun 1927, dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time), Martin
Heidegger memberikan pengertian baru tentang hermeneutik. Menurut Heidegger,
hermeneutik bukanlah mengenai pemahaman komunikasi linguistik, juga bukan
merupakan basis dari metodologi bagi ilmu-ilmu tentang kehidupan manusia atau geisteswissenschaften,
tetapi hermeneutik lebih merupakan ontologi.[†] Heidegger berpendapat
bahwa tugas dari filsafat adalah untuk menunjukkan bagaimana subjek dapat
secara rasional memberikan aturan-aturan epistemologi di mana sebuah
representasi dikatakan sebagai benar atau salah. Dari suatu posisi tertentu,
jalan ke konsepsi tentang kebenaran tidaklah jauh dikaitkan dengan metode yang
disediakan oleh metode ilmu-ilmu alam. Model yang seperti ini cenderung
melupakan aspek yang paling mendasar, aspek pre-scientific keberadaan
manusia di dunia. Inilah yang menjadi ruang lingkup kerja hermeneutik menurut
Heidegger. Hermeneutik, atau yang oleh Heidegger disebut hermeneutics of
facticity, adalah apa yang oleh filsafat dijadikan hal yang paling utama.
Dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (1960), Hans-Georg
Gadamer, yang merupakan murid dari Martin Heidegger, membahas mengenai masalah
hermeneutik yang dikemukakan oleh Schleiermacher dan Dilthey dengan menggunakan
metode yang disajikan oleh Heidegger dalam bukunya Being and Time. Menurut
Gadamer, human sciences selalu berusaha mendekati teks dari suatu
posisi yang dijaga berjarak dari teks itu sendiri, yang disebutalienation, yang
menghapuskan ikatan-ikatan yang sebelumnya telah dimiliki oleh interpreter
dengan objek yang sedang diinterpretasikan. Menurut Gadamer, jarak tersebut
dapat diatasi dan ikatan-ikatan tersebut dapat dibangun kembali (re-fusion)
melalui mediasi kesadaran akan efek historis (consciousness of the effects of
history).
Ide dasar yang disampaikan oleh Gadamer adalah bahwa pendekatan kita terhadap
sebuah fenomena historis (karya seni, karya sastra, teks, dan lain-lain) telah
ditentukan lebih dulu oleh pemahaman awal (pre-understandings) dari
interpreter-interpreter sebelumnya. Jadi, dengan melepaskan ikatan-ikatan kita
sendiri terhadap objek, dan menggantinya dengan hasil interpretasi dari para
interpreter sebelumnya, maka kita telas, tradisi, dan budaya seringkali tidak diperhitungkan
dalam analisis teori-teori dan penjelasannya.[7] Para ilmuwan cenderung
menggunakan pendekatan formal dalam bidang ilmunya, meyakini bahwa ilmu alam
adalah metodologi yang singular, yang akan membawa kita pada hasil yang
objektif dan realistik terhadap pengamatan suatu fenomena. Pandangan ini
merupakan pandangan para penganut positivisme, yang diperkuat oleh
penemuan-penemuan dalam ilmu alam yang berhasil menyingkap banyak
fenomena-fenomena alam.
Namun demikian dalam perkembangannya, muncul beberapa pandangan filosofis
mengenai ilmu alam yang sedikit berubah dan rumit. Sejumlah pertanyaan
filosofis yang cukup penting berkisar pada isu tentang perubahan keilmiahan (scientific
change). Adakah suatu pola yang jelas terhadap cara gagasan-gagasan ilmiah
berubah dari waktu ke waktu? Kapankah ilmuwan memutuskan meninggalkan teori
lama ketika muncul teori yang baru? Apakah teori-teori yang baru secara
objektif lebih baik dibandingkan teori-teori yang lama? Atau apakah konsep
objektivitas masih tetap relevan? Sebagai contoh, apakah dengan adanya mekanika
kuantum, maka lalu mekanika Newton kemudian ditinggalkan?
Diskusi paling modern yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah yang diberikan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolutions pada tahun 1963. Kuhn berargumentasi bahwa
ilmu alam bukanlah suatu metodologi yang singular, tetapi beragam disiplin
yang kompleks yang tidak dapat dilepaskan dari konteks historis dan konteks
sosial. Menurut Kuhn, kurangnya perhatian para ilmuwan terhadap sejarah ilmu
alam menyebabkan mereka - para penganut positivisme - membentuk perspektif
kegiatan ilmiah yang tidak akurat dan naif.[8]
Seperti judul buku yang ditulisnya, Kuhn sangat tertarik dengan apa yang ia
sebut sebagai revolusi ilmiah atau revolusi ilmu pengetahuan (scientific
revolutions) - yaitu suatu periode ketika suatu teori lama digantikan oleh
suatu teori baru yang cukup berbeda atau revolusioner. Contoh revolusi ilmu
pengetahuan adalah kemunculan teori Copernicus tentang tata surya yang
menggantikan teori Ptolomeus, mekanika Newton yang menggantikan mekanika
Kartesian, dan teori relativitas Einstein serta teori kuantum yang menggantikan
mekanika Newton untuk "dunia yang sangat besar' dan "dunia yang
sangat kecil".
Perubahan-perubahan dalam ilmu pengetahuan ini tidak lain adalah
perubahan-perubahan interpretasi para ilmuwan terhadap fenomena alam yang
dihadapinya. Sebelum sebuah interpretasi baru diterima sebagai pengganti
interpretasi lama, maka interpretasi baru tersebut akan diuji dengan sangat
kritis. Sebagian besar pengujian bukan difokuskan pada bagaimana latar belakang
dan metode dari interpretasi baru tersebut, melainkan pada apakah interpretasi
baru ini bisa menjelaskan fenomena alam dengan lebih memuaskan atau tidak
(memiliki ruang lingkup yang lebih luas). Sebagai gambaran yang sudah sangat
populer, ketika Newton menyaksikan buah apel jatuh dari pohonnya, Newton memberikan
hipotesis bahwa ada gaya gravitasi yang bekerja antara dua buah benda. Para
ilmuwan tidak mempedulikan cara Newton yang hanya dengan melihat buah apel
jatuh saja bisa sampai pada hipotesis itu. Contoh lainnya, ilmuwan Belgia
bernama Kekule, pada tahun 1865 menyatakan bahwa molekul benzena memiliki
struktur heksagonal setelah ia bermimpi tentang ular yang sedang menggigit
ekornya sendiri. Yang kemudian diuji oleh para ilmuwan lain adalah kebenaran
struktur heksagonal tersebut, bukan kebenaran dari mimpi Kekule itu sendiri.
Revolusi ilmu pengetahuan relatif tidak sering terjadi. Sebagian besar sejarah
ilmu pengetahuan diisi oleh apa yang oleh Kuhn disebut sebagai "normal
science", yaitu kegiatan para ilmuwan hari demi hari. Dalam keseharian
para ilmuwan, mereka memiliki apa yang oleh Kuhn disebut paradigma, yaitu
sekumpulan asumsi teoretis yang fundamental yang diterima atau disepakati oleh
kalangan ilmuwan pada saat itu. Paradigma juga dapat diartikan sebagai
jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ilmuwan akan berbagai pertanyaan
ilmiah, yang didasarkan pada asumsi-asumsi.
Paradigma menjadi semacam arah bagi para ilmuwan dalam normal science untuk
mencari paradigma baru yang lebih cocok dengan fenomena yang menjadi objeknya.
Aktivitas ilmuwan dalam normal science membawa mereka pada penemuan
tentang ketidaksesuaian dan anomali suatu paradigma, sehingga
paradigma tersebut perlu diperbaiki. Meskipun kesesuaian antara paradigma
dengan objek fenomena alam tidak pernah sempurna - selalu terdapat hal yang tidak
dapat dijelaskan oleh paradigma tersebut - tetapi para ilmuwan tidak menolak
atau meninggalkan paradigma yang berlaku tersebut. Mereka menyebut
ketidakcocokan tersebut sebagai rintangan (obstacle) yang dapat diatasi tanpa
harus meninggalkan paradigma yang ada. Pada suatu saat akan terjadi krisis di
mana sebuah paradigma baru yang benar-benar berbeda yang dapat menjelaskan
ketidaksesuaian dan anomali paradigma lama yang diajukan untuk melawan
paradigma lama. Dalam krisis ini - yang oleh Kuhn diibaratkan dengan krisis
politik - tidak ada bukti-bukti logis yang dapat menyelesaikan peperangan
antarparadigma tersebut. Dengan kata lain, pendapat Kuhn tersebut menyebabkan science menjadi irasional, subjektif,
dan relatif. [9]
Berdasarkan uraian di atas mungkin akan muncul pertanyaan: bagaimana dengan
perbedaan antaraNaturwissenscaften atau ilmu-ilmu alam dan Geistesswissenscaften atau
ilmu-ilmu sosial yang telah dengan sangat tegas dibedakan oleh Dilthey? Peter
Winch dalam bukunya The Idea of Social Science and Its Relation to
Philosophy(1958) berpendapat bahwa pemisahan tersebut dapat dipahami sebagai
suatu dikotomi linguistik di antara keduanya. Kuhn sendiri, dalam pengantar
kumpulan artikelnya Essential Tension (1970) menyatakan: What I
as a physicist had to discover for myself, most historians learn by example in
the course of professional training. Consciously or not, they are all
practitioners of the hermeneutic method. In my case, however, the discovery of
hermeneutics did more than make history seem consequntial. Its most immediate
and decisive effect was instead on my view of science.[10]
Kuhn menyatakan dalam kumpulan artikel Essential Tension (1970) bahwa
pengamatan-pengamatan selaludiinterpretasikan dalam konteks pengetahuan
sebelumnya yang telah dimiliki. Beberapa contoh dalam sejarah ilmu pengetahuan
alam menunjukkan bahwa apa yang dilihat oleh seorang pengamat tergantung pada
objek yang dilihatnya dan juga pada pengalaman visual-konseptual yang
telah diajarkan padanya.[11]
Pada tahun 1925 Heisenberg menulis sebuah artikel berbahasa Jerman yang
menyampaikan gagasan mekanika kuantum sebagai re-interpretasi kuantum
teoretis akan hubungan kinematika dan mekanika. Menurut Heisenberg, mekanika
kuantum bukanlah penyelesaian baru dalam mekanika lama, tetapi mekanika baru
yang sensitif terhadapintrinsic dependence objek-objek kuantum yang
diukur, sesuai dengan fisika klasik daripada fisika kuantum yang baru.
Re-interpretasi yang dilakukan Heisenberg ini mencontoh pada apa yang dilakukan
Einstein ketika menyelesaikan masalah kontraksi panjang dan dilatasi waktu
dengan melakukan re-interpretasi karakter ruang dan waktu. Apa
yang dilakukan Heisenberg dan Einstein ini menunjukkan bahwa interpretasi - hermeneutik -
juga terdapat dalam fisika, dan tentu saja juga dalam ilmu-ilmu eksperimental
lainnya, yang memberikan kontribusi pada perspektif filosofi baru tentang
fisika yang boleh jadi telah dibayangkan oleh Einstein dan Heinsenberg.[12]
Metode hermeneutik yang sebenarnya menjadi salah satu metode dalam ilmu-ilmu
sosial berlawanan dengan metodeexplanatory yang biasanya digunakan dalam
ilmu-ilmu alam. Metode explanatory mengarah pada konstruksi
model-model matematis dari variabel-variabel yang terukur maupun teoretis.
Model-model ini dapat ditolak atau pun diterima didasarkan pada hasil-hasil
percobaan yang dilakukan. Namun demikian tidak dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu
sosial (atau ilmu tentang manusia) secara eksklusif bersifat interpretatif,
juga tidak dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu alam secara eksklusif bersifat
explanotary. Penggunaan metode hermeneutis dalam ilmu-ilmu alam seringkali
tidak disadari oleh para ilmuwan sendiri, yang boleh jadi ini disebabkan karena
begitu kuatnya keinginan ilmuwan untuk bersikap objektif dan rasional. Ilmuwan
pada umumnya akan merasa malu dan bersalah jika menyampaikan suatu gagasan
tanpa ada bukti-bukti empiris atau pun bukti-bukti logis. Penggunaan metode
hermeneutis secara sengaja, dalam sejarahnya, hanya secara berani dilakukan
oleh tokoh-tokoh ilmuwan tertentu yang memiliki karisma cukup besar di
bidangnya, misalnya, Einstein yang menyampaikan interpretasi tentang cahaya
yang bisa melengkung (yang pada akhirnya terbukti benar).
Usaha keras untuk mencari arti (meaning) dan pemahaman (understanding) dapat
dilakukan dengan berbagai cara; metode ilmiah dalam ilmu alam bukan
satu-satunya cara. Ilmu alam juga tidak dapat diklaim dapat memberikan jawaban
akhir, melainkan hanya berupa pendekatan pemahaman yang lebih baik akan
objek-objek alam semesta sebagai fungsi dari waktu dan usaha yang telah
dilakukan.[13] Pendekatan pemahaman lama baik atau cocok untuk waktu
dahulu, sedang pendekatan yang baru baik untuk waktu yang sekarang.
Kembali mengacu kepada pergeseran paradigma dalam ilmu alam sebagaimana yang
disebutkan oleh Kuhn, maka dapat dikatakan bahwa terjadi diskontinuitas
makna dalam ilmu alam, yaitu dari makna lama dalam paradigma lama ke magna
baru dalam paradigma baru. Dalam hermeneutik, makna baru yang benar-benar
berbeda tidak harus menggantikan makna lama, sebab, meskipun berbeda, mungkin
keduanya valid dalam konteks historis dan budaya. Tentu saja,
meskipun model formal keduanya benar-benar tidak dapat didamaikan, kita sering
mendapatkan dalam ilmu alam bahwa pemahaman lama berdampingan dengan pemahaman
yang baru, misalnya mekanika Newton dengan mekanika kuantum, termodinamika
statistik dengan termodinamika fenomenologis.
Beberapa contoh berikut akan mencukupi untuk menunjukkan bagaimana ilmu alam
menyertakan interpretasi atau hermeneutik di dalamnya. Dalam astronomi dan
kosmologi, peranan hermeneutik sangat signifikan, dikarenakan dibandingkan
dengan ilmu-ilmu lain dalam ilmu alam, objek-objek yang dipelajari oleh
astronomi tidak dapat diakses melalui eksperimen langsung dan terkontrol, dan
juga sulit dimanipulasi. Dalam kosmologi kontemporer, masalah kerumitan
kuantum dan berbagai parameter kosmologi seringkali menimbulkan berbagai
spekulasi yang non-empiris, misalnya gagasan tentang string-theory, yaitu
teori yang ingin menggabungkan mekanika kuantum dengan teori relativitas,
walaupun teorinya sendiri sebenarnya sampai saat ini belum dapat disusun. Teori
ini diharapkan dapat menjelaskan peristiwa apa yang terjadi sesaat setelah Big
Bang (Dentuman Besar).
Hal lain yang cukup menarik adalah teori multiverse, yang memberikan
kemungkinan adanya jagat raya lain di luar jagat yang kita tempati ini. Sir
Martin Rees, seorang kosmologis dari Inggris, dalam suatu kesempatan wawancara
menyatakan: [‡]
We can perhaps find intimations of the existence of these other universes. They
may affect some detail of the quantum mechanics; there may be gravitational
interaction between our universe and another separated by a few millimetres in
some other dimension. One of the challenges of 21st-century physics, in my
opinion, is to understand the relationship of gravity to the other forces and
thereby give us a firmer picture of the initial tiny fraction of a second of
our Big Bang. When we have that understanding, we will know whether our Big
Bang has unique properties or whether it was part of some ensemble which could
display variety. I think it will be attractive if it turns out that there is a multiverse allowing
a variety of big bangs.
Dalam bidang fisika, khususnya dalam mekanika kuantum, dikenal istilah interpretasi Copenhagen (Copenhagen
Interpretation). Sebagai teori tentang atom, mekanika kuantum mungkin merupakan
teori yang paling sukses dalam sejarah ilmu alam. Mekanika kuantum memungkinkan
fisikawan, ahli kimia, dan para insinyur mengembangkan berbagai teknologi baru
melalui pemahaman akan objek-objek atomik. Namun demikian, teori mekanika
kuantum ini juga menjadi tantangan bagi imajinasi kita. Mekanika kuantum
sepertinya melanggar beberapa prinsip dasar fisika klasik yang telah cukup lama
diyakini kesahihannya. Oleh karena itu, interpretasi mekanika kuantum
diperlukan untuk menjelaskan pelanggaran-pelanggaran ini. Salah satu perintis
interpretasi mekanika kuantum adalah interpretasi Copenhagen, yang
terutama dilakukan oleh Niels Bohr, Werner Heisenberg, dan Max Born.
Sebenarnya, Bohr dan Heisenberg tidak pernah secara penuh sepakat pada
bagaimana memahami formulasi matematis mekanika kuantum, dan tidak satu pun
dari mereka yang pernah menggunakan istilah interpretasi Copenhagen. Bohr
bahkan menjauhkan dirinya dari apa yang ia sebut interpretasi subjektif
Heisenberg.[14]
Ketika ilmu alam menemui kebuntuan untuk menjelaskan satu fenomena secara
formal, metode interpretasi menjadi salah satu alternatif untuk menjawabnya,
walaupun sebagian besar ilmuwan yakin bahwa jawaban ini sebenarnya bukan
jawaban yang memuaskan. Ketika para ahli fisika tidak dapat menjelaskan apa
makna fisis simbol ψ
("psi") dalam persamaan fungsi gelombang Schroedinger, walaupun
penyelesaian matematisnya bisa ditemukan. Akhirnya dilakukanlah suatu
interpretasi yang menyatakan bahwa kuadrat dari ψ sebagai rapat probabilitas
menemukan partikel pada posisi dan waktu tertentu[15].
Dalam bidang biologi molekuler, genom makin sering dirujuk sebagai teks
atau kode, yang selanjutnya diinterpretasikan sebagai pembeda antara satu
organisme dengan organisme yang lain.[16] Genom menjadi sangat masuk akal
- tetapi menimbulkan kebingungan untuk menafsirkan pada awalnya - menjadi book
of life, dan menimbulkan keinginan untuk menafsirkannya lebih jauh.
Kadang-kadang, genom dikaitkan dengan probabilitas ada tidaknya penyakit
keturunan.
Dalam teori evolusi yang diajukan oleh Darwin, masih tetap diperdebatkan apakah
evolusi berkaitan dengan keyakinan keagamaan ataukah karena memang ada aturan
ilmiahnya seperti yang diusulkan oleh Darwin. Karena para peneliti hanya dapat
melakukan simulasi, dan tidak dapat membawa teori evolusi ke laboratorium dan
diverifikasi, maka para peneliti tidak dapat menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Argumen-argumen yang ada tersebut tetap akan dalam status sebagai
interpretasi di mana fakta-fakta empiris dan argumen-argumen logis dikemukakan
untuk mendukung masing-masing pendapat dengan derajat kepuasan yang
berbeda-beda.
Dalam bidang medis, hermeneutik juga berperan dalam praktiknya. Salah satu
pendekatan hermeneutik yang mungkin dalam bidang medis melibatkan pandangan pasien
sebagai teks yang harus diinterpretasikan. Meskipun pandangan ini bukan
tanpa penolakan, satu cara untuk menerapkan hermeneutik ke dalam bidang
kedokteran adalah dengan mengasumsikan keluhan pasien sebagai teks.
Keluhan pasien kemudian diinterpretasikan melalui berbagai sumber kedua yang
pada akhirnya membentuk catatan medis pasien tersebut. Metode interpretasi
untuk praktik pengobatan adalah melalui rencana treatment (perlakuan). Kualitas
rencana treatment ini didasarkan pada pengalaman medis sebelumnya dan
pendidikan yang diperoleh oleh tenaga medis. Seiring dengan berjalannya waktu,
tenaga medis tersebut dapat memverifikasi hasil interpretasinya melalui
progress yang dicapai pasien. Pada akhirnya, interpretasi memungkinkan pasien
mendapatkan hidup baru dari awal dengan tubuh atau jiwa yang sudah sehat.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat disebutkan bahwa walaupun pendekatan hermeunetik
tidak begitu memuaskan para ilmuwan dalam rangka menjelaskan berbagai fenomena
alam, namun ternyata pendekatan ini memiliki kontribusi yang cukup penting
dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu alam. Pendekatan hermeneutik sebagai
metode alternatif juga ikut mendukung terjadinya scientific revolution sebagaimana
yang disebutkan oleh Thomas Kuhn. Ilmu-ilmu alam yang oleh penganut paham
positivism dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif,
ternyata juga memiliki sedikit sifat subjektif dan tidak benar-benar terbebas
dari aspek historisnya.
Referensi
[*] Paham geosentris berpendapat bahwa bumi merupakan
pusat tata surya, sedangkan paham heliosentris memandang matahari sebagai pusat
tata surya.
[†] Ontologi atau metafisika umum adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang "sungguh-sungguh ada" (ontos on, Yunani) menurut aspeknya yang paling umum (Tjahjadi, Simon, P., Petualangan Intelektual, Penerbit Kanisius, 2004 Halaman 137)
[‡] Sir Martin Rees, dalam wawancara dengan editor Encarta, Latha Menon, dalam Microsoft Encarta Encyclopedia 2006 Edition, 2005
[†] Ontologi atau metafisika umum adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang "sungguh-sungguh ada" (ontos on, Yunani) menurut aspeknya yang paling umum (Tjahjadi, Simon, P., Petualangan Intelektual, Penerbit Kanisius, 2004 Halaman 137)
[‡] Sir Martin Rees, dalam wawancara dengan editor Encarta, Latha Menon, dalam Microsoft Encarta Encyclopedia 2006 Edition, 2005
[1] Hardiman, F. Budi, Melampaui
Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003,
Halaman 22-24.
[2] Okasha, Samir, Philosophy of Science: A very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, 2002, Halaman 77-78.
[3] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 41.
[4] Grassie, William, J., "Hermeneutics in Science and Religion", Contribution to Encyclopedia of Religion and Science, Vol.1, Macmillan Reference, 2003
[5] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 51-54.
[2] Okasha, Samir, Philosophy of Science: A very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, 2002, Halaman 77-78.
[3] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 41.
[4] Grassie, William, J., "Hermeneutics in Science and Religion", Contribution to Encyclopedia of Religion and Science, Vol.1, Macmillan Reference, 2003
[5] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 51-54.
[6] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah
Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 63-64.
[7] Heelan, Patrick, A., "After
Postmodernism: The Scope of Hermeneutics in Natural Science", dalam
Studies in the History and Philosophy of Science (Cambridge)
[8] Okasha, Samir, Philosophy of Science:
A very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, 2002, Halaman
81-84.
[9] Bernstein, Richard, J., Beyond
Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis, University
of Pennsylvania, Philadelphia, 1985, Halaman 22.
[10] Bernstein, Richard, J., Beyond
Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis, University
of Pennsylvania, Philadelphia, 1985, Halaman 30-31.
[11] Malhotra, Yogesh, Role of Science in
Knowledge Creation: A Philosophy of Science Perspective, BRINT Institute, 1994,
(URL: http://www.kmbook.com/science.htm"
title="http://www.kmbook.com/science.htm" target="ˍblank"http://www.kmbook.com/science...
).
[12] Heelan, Patrick, A., "After
Postmodernism: The Scope of Hermeneutics in Natural Science", dalam
Studies in the History and Philosophy of Science (Cambridge)
[13] Usher, Peter, D., "Astronomy and The
Canons of Hermeneutics: Mercury and Elusiveness of Meaning, dalam The Astronomy
Quarterly, Vol. 3, Pachart Publishing House, Tucson, 1979.
[14] Esfeld, Michael, "Quantum Holism and
the Philosophy of Mind, dalam Journal of Consciousness Studies 6, 1999.
[15] Wilson, Jerry, D., Buffa, Anthony, J., Physics,
3rd Ed, Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1990, Halaman 870-871.
[16] Cherfas, Jeremy, The Human Genome, Dorling
Kindersley, London, 2002, Halaman 28.
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini