Ilmu
adalah motor penggerak pemikiran dan aktifitas manusia. Tinggi
rendahnya martabat manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Karena itu,
ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi Islam. Hal tersebut
misalnya, dapat dilihat, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wassalam dan
generasi gemilang setelahnya, dalam setiap episode historisnya selalu
memberi titik berat kepada pengembangan tradisi keilmuan. Sebabnya,
epistemologi – yang menjadi kerangka ilmu – adalah sentra aktifitas
manusia.
Hasil pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu
tidak lah sama dengan produk pemikiran manusia yang kerangka
keilmuannya tidak jelas, atau bahkan salah. Oleh karena itulah, sejak
zaman Nabi Muhammad, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang. Salah
satunya yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah.
Tradisi intelektual zaman Nabi Muhammad tersebut dapat dibuktikan
dengan wujudnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70
orang sahabat Nabi SAW.
Sekolah Rasulullah yang pertama tersebut didirikan sekitar kurang
lebih 17 bulan sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat yang
memiliki tingkat intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu
Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran
madrasah ini begitu sentral, sebab, dari komunitas kajian ilmu inilah
pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang
berasas al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada sesuatu yang berbeda di madrasah
itu ketika bulan suci datang. Kajian-kajian ilmu itu, memberi tekanan
khusus pada pendalaman al-Qur’an setiap bulan suci Ramadlan. Memasuki
bulan Ramadlan, kajian-kajian tentang al-Qur’an menjadi semakin
meningkat dan diikuti oleh para sahabat lain. Hingga, tradisi ini
turun-temurun dicontoh oleh kaum muslimin di penjuru dunia hingga
generasi sekarang.
Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan
dan dikembangkan, sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni
dunia yang membentuk mental keilmuan seorang muslim. Seorang
Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu di Cordoba begitu hebat,
hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan menulis dan Islam
adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah pengetahuan.
Kekagaman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat sebuah
tempat untuk menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang
digunakan untuk memindahkan buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka
yang membutuhkan buku-buku langka untuk disalin.
Kembali kepada ilmu yang benar
Kegiatan ilmu adalah aktifitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.
Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan
terbesar muslim kontemporer menurut Prof. Al-Attas adalah rusaknya
Ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran
dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam
al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan
oleh kejahatan intelektual muslim (ulama’). ”Seburuk-buruk manusia
adalah ulama yang buruk”, kata Rasulullah.
Oleh sebab itu, diskusi ilmu dan kajian ilmiah tak kalah mulyanya
dengan ibadah shalat dan sedekah di bulan Ramadlan. Bahkan pada masa
dimana kerusakan ilmu merajalela, kajian ilmiah barangkali lebih utama.
Ditegaskan oleh Ibnu Abbas ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam
lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.” Apalagi pada masa
kini, kejahilan tidak sama dengan kejahilan yang pernah dialami oleh
ulama’-ulama dahulu.
Kini, kejahilan bukan saja kekurangan ilmu, akan tetapi kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu ini akibat invasi konsep-konsep sekular yang menghegemoni studi-studi Islam.
Menurut al-Attas, invasi Barat ke dunia Islam menyebabkan kerugian
tidak sekedar fisik, tapi juga pergeseran cara pandang, utamanya cara
pandang keilmuan. Salah satu isu penting dalam keilmuan adalah
sumber-sumber ilmu.
Jalur utama mendapat ilmu menurut Barat modern adalah panca indera
dan nalar belaka. Karena sumber ilmu menurut Barat hanya terbatas pada
panca indera dan akal saja, maka produk-produk keilmuan yang dianggap
layak sebagai sarana hidup juga terbatas kepada yang bisa dicerna oleh
panca indera dan dinalar oleh akal.
Dengan pola pikir seperti ini, ilmu-ilmu yang berbasis wahyu
teriliminasi dan dianggap tidak layak menyelesaikan masalah kehidupan
manusia. Ironisnya, pemikiran ini juga menjangkiti umat islam. Sebagai
bukti, ketika melihat pendidikan misalnya, maka jurusan yang dipilih
adalah jurusan yang menjanjikan pekerjaan. Hingga seakan-akan tujuan
pendidikan bukan lagi mendidik, tapi dunia kerja.
Ini juga tidak saja terjadi pada jurusan-jurusan berbasis umum,
jurusan agama juga mengalami hal yang sama, yaitu orientasi bukan ilmu,
tapi orientasi materi. Inilah yang kata al-Attas telah terjadi
pergeseran tentang posisi ilmu yaitu, mana yang utama dan yang
sampingan. Al-Attas menyebutnya ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah.
Umat tidak paham mana yang pertama dan mana yang kedua. Kalaupun paham,
masih juga mengutamakan yang kedua dan meninggalkan yang pertama karena
yang nampak di depan mereka materi yang akan diperoleh nantinya
Lalu bagaimana sebaiknya memahami sumber-sumber ilmu ini? Al-Attas
merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari
para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti
al-Nasafi, Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi
al-Attas, manusia boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang
benar (khabar shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aqal), dan
indera (hawas).
Bagi Islam, semua sumber ilmu tidak bertentangan satu sama lainnya
dan saling berhubungan. Namun demikian, masing-masing sumber ilmu itu
mempunyai otoritasnya dan posisi serta derajatnya. Yang tertinggi
adalah informasi yang benar, yang dalam kategori ini adalah wahyu.
Sedangkan yang terendah adalah indera. Diantara yang tertinggi dan
terendah, disitulah letaknya akal dan intuisi.
Dengan kesepaduan sumber ilmu dalam Islam, ulama terdahulu telah
menghasilkan berbagai macam keilmuan yang kaya raya, yang membuat decak
kagum manusia seluruh dunia. Maka tak heran kalau orang mengatakan, ”Ex Oriente Lux” (Dari Timur Muncul Cahaya).
Sebaliknya, dengan terpengaruh oleh arus cara hidup dan cara pikir
modern yang memporak porandakan sumber-sumber ilmu dalam Islam, umat
Islam kini terbelakang dan oleh karenanya miskin produktifitas ilmu.
Dengan demikian, salah satu jalan keluar terpenting bagi
keterbelakangan umat ini adalah kembali lagi kepada sumber ilmu yang
betul, lengkap dan mapan sesuai dengan yang dicontohkan oleh para
pendahulu umat Islam.
*)Mahasiswa Pascarasjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini