SUDAH
tiga-puluh-lima tahun telah berlalu sejak almarhum Cak Nur pada 2
Januari 1970 dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan
Persami, di Menteng Raya 58 menyatakan, bahwa Islam sebenarnya
mendukung sekularisasi dalam arti apa yang duniawi (‘sekular’) tidak
perlu disakralkan. Khususnya urusan politik dan negara, yang merupakan
perkara duniawi, dan karena itu jangan diagamakan: Gema gagasan seperti
ini masih terdengar hingga kini, seperti pada ungkapan: “Jangan
mempolitisir agama” atau “Jangan mencampur-adukkan agama dan politik”.
Dalam konteks Indonesia ketika itu, pemikiran Cak Nur dapat dengan
mudah dipahami. Namun, untuk tidak mendogmakannya, gagasan tersebut
layak dipikirkan kembali keabsahannya secara epistemologis maupun
secara empiris. Memang benar, menurut para sosiolog, modernisasi tanpa
sekularisasi tak ubahnya bagai merokok tanpa menghirup asap. Mustahil
menjadi modern kalau tidak sekuler dulu. Contohnya, ya Negara-negara
modern di Eropa dan Amerika, yang berhasil membangun dan maju di segala
bidang dengan mengamalkan sekularisasi. Dan ini, konon, bertolak dari
ajaran agama mereka sendiri, dimana tercatat ucapan Yesus: “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.” (Gospel Matius XXII:21).
Implikasinya, agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik
dan negara, sehingga muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium,
pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas gereja, antara wewenang
negara dan wewenang agama. Doktrin ini mendapat legitimasi dari St.
Augustin membuat distingsi antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota
Tuhan (civitas dei). Faktor lain yang mendorong sekularisasi di Barat
ialah gerakan Reformasi Protestan sejak awal abad ke-16, sebuah reaksi
terhadap maraknya korupsi di kalangan Gereja yang dituduh memanipulasi
dan mempolitisir agama untuk kepentingan pribadi (Philip Schaff,
History of the Christian Church, 1997).
Belakangan, sejumlah peneliti seperti C.G. Brown dan Peter L.
Berger mulai menyanggah apa yang disebut sebagai tesis sekularisasi
itu. Sebabnya, fakta empiris justru menunjukkan betapa agama ataupun
kecenderungan padanya (religiositas) tetap mewarnai kehidupan
masyarakat dan seringkali bahkan ikut menentukan kebijakan ekonomi,
hukum maupun politik (lihat buku American Theocracy (2006) karya Kevin
Phillips), seakan membenarkan apa yang pernah dikatakan Alexis de
Tocqueville satu setengah abad silam: “Aku tak habis pikir bagaimana
bisa upaya menyusutkan pengaruh agama [di Amerika] ternyata malah
memperbesar kekuatannya”.
Kelemahan tesis sekularisasi sebagai sebuah paradigma terletak pada sifatnya yang terkesan deterministik: Kalau
sudah modern, pasti akan sekular. Kalau sekular, tentu modern. Agar
modern, mesti sekular. Kalau tidak sekular, tidak bisa modern, dan
seterusnya. Padahal, ‘masyarakat manusia’ jelas sangat dinamis
dan karenanya amat sulit untuk dipatok arah maupun coraknya. Contoh
empiris Turki dan Mesir menarik untuk kita renungkan.
Pengalaman Turki dan Mesir
Menyusul kekalahannya dalam perang melawan Russia pada tahun 1774
dan gagal mempertahankan Mesir dari invasi Napoleon pada tahun 1798,
Imperium Turki Osmani terpaksa melakukan modernisasi militer, ekonomi
dan sosial lewat serangkaian program yang dinamakan Tanzimat: bermula
dengan menghapuskan pasukan khusus (janissaries), membubarkan tarekat
Bektashi, regulasi pajak langsung, hingga memperkenalkan undang-undang
anti-diskriminasi sipil (menghapus status dzimmi bagi non-Muslim).
Proyek modernisasi Turki itu dilanjutkan oleh Mustafa Kemal
Atatürk. Setelah berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1923, Atatürk
mencanangkan program pembangunan Turki modern lewat ‘enam anak panah’
(Altı Ok). Yaitu, pertama, prinsip republikanisme (cumhuriyetcilik),
bahwa negara Turki modern menerapkan sistem demokrasi parlementer yang
dipimpin oleh seorang presiden, bukan sultan atau khalifah. Kedua,
nasionalisme (milliyetcilik), bahwa bukan agama atau mazhab tertentu
yang menentukan kewarganegaraan. Ketiga, prinsip kenegaraan
(devletcilik), dimana pemerintah berkuasa penuh dalam pengelolaan
ekonomi dan berhak intervensi demi kepentingan rakyat. Keempat, prinsip
populisme (halkcılık) yang dimaknai sebagai perlindungan hak asasi
manusia dan kesetaraan di hadapan hukum. Kelima, sekularisme (laiklik),
dan terakhir, prinsip revolusionisme (inkilapcılık).
Dari keenam sila ini, sekularisme adalah yang paling berpengaruh.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Imperium Osmani yang telah berkuasa selama
lebih dari 700 tahun (1299-1922M) itu resmi dihapuskan. Tidak lama
kemudian, pengadilan agama dan pondok-pondok pesantren dibubarkan.
Begitu juga tarekat-tarekat sufi. Selanjutnya, pakaian ala Barat
digalakkan, poligami dilarang, dan undang-undang baru (ala Swiss untuk
hukum sipil, ala Itali untuk hukum pidana, dan ala Jerman untuk hukum
perdata) mulai resmi diberlakukan, menggantikan undang-undang (Syariah)
Islam. Selain itu, kalender Hijriah diganti dengan kalender Gregorian
(Masehi), lalu penggunaan huruf Arab untuk bahasa Turki dilarang dan
diganti dengan huruf Latin.
Pada perkembangan selanjutnya, ideologi sekular Atatürk –terkenal
dengan sebutan “Kemalisme”- menjelma jadi sangat anti-agama dan
ultra-nasionalistik. Segala yang bercirikan Islam atau berbau Arab
dilecehkan sebagai keterbelakangan, kemunduran dan kebiadaban
(barbarism). Siapa yang berani mempersoalkan sekularisme dituduh
sebagai pengkhianat negara, tidak rasional dan sektarian. Selain itu,
untuk menjamin kelanggengan ideologi ini, rezim Kemalis menciptakan apa
yang mereka sebut sebagai ‘Islam yang tercerahkan’ (cagdas Islam), mirip dengan gagasan Islam progresif di Amerika Serikat, Islam modernis di Pakistan, atau Islam hadhari di Malaysia.
Proyek Atatürk ini pada intinya bertujuan mencabut Islam dari akar-akarnya (to promote ‘disestablishment’ of Islam),
tulis sejarawan politik Hakan Yavuz. Namun sekularisme sebagai ideologi
negara dinilai banyak pengamat telah gagal mencapai tujuannya.
Buktinya, hingga saat ini belum banyak kemajuan yang diraih. Setelah
lebih setengah abad berusaha menjadi sekular, Turki masih saja dianggap
belum semaju, semodern dan sedemokratis negara-negara Eropa. Jangankan
melampaui, menyamai Imperium Osmani pun belum bisa. Justru diam-diam
namun pasti, Islam sebagai kekuatan politik nampak mulai bangkit
melawan kekuatan sekular dan berusaha merebut kembali tampuk kekuasaan
dari tangan mereka (Lihat: Heinz Kramer, A Changing Turkey: The Challenge to Europe and the United States, Washington, D.C., 2000).
Di Mesir, proses sekularisasi berlangsung sejak masuknya penjajah
Perancis pada tahun 1798 dan Inggris pada tahun 1802. Tidak sampai
seratus tahun kemudian lahirlah tokoh-tokoh yang menyerukan pembaharuan
ala Barat. Di antara pionirnya ialah Rifa‘ah al-Tahtawi (1801-1873)
yang pernah tinggal di Paris selama lima tahun. Dialah tokoh yang
mengobarkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air (hubbul watan). Baginya, persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwwah wataniyyah)
sama pentingnya atau bahkan lebih utama daripada persaudaraan atas
dasar agama. Hanya dengan nasionalisme dan modernisasi, menurutnya,
negara seperti Mesir bisa maju seperti Eropa. Qasim Amin (1863-1908)
melangkah lebih jauh.
Murid Syekh Muhammad Abduh ini tidak hanya mengecam praktik
despotisme ketika itu, tetapi juga menganggap Syariat Islam sebagai
kendala kemajuan. Lantas ia pun menyerukan pembebasan perempuan lewat
kesetaraan gender, kebebasan dalam berbusana (tidak wajib berjilbab),
dan pelarangan poligami.
Kemudian muncul ‘Alī ‘Abdur-Rāziq dengan bukunya, al-Islam wa ushul al-hukm (Islam
dan Dasar-Dasar Pemerintahan), dimana ia mengklaim bahwa Islam khilafah
tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijma‘ ulama. Islam
tidak memberikan aturan yang pasti tentang sistim pengelolaan negara.
Muhammad SAW hanyalah seorang nabi, bukan penguasa, cuma ditugaskan
untuk mengajarkan akhlak dan agama, bukan politik dan tata negara.
Karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan.
Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain
tidak ada sangkut-pautnya dan karena itu tidak perlu dikaitkan dengan
agama. Tidak hanya itu, Abdur-Raziq bahkan menuding sistem khilafah
bertanggung-jawab atas ketertinggalan Umat Islam. Terlepas dari
upaya-upaya tersebut, kenyataannya peran agama dalam kehidupan politik
di Mesir tetap sukar dinafikan, seperti tercermin pada kemenangan
Ikhwanul Muslimin belum lama ini.
Sekularisasi Mustahil
Dari paparan ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa
sekularisasi bukanlah prasyarat mutlak transformasi masyarakat dari
tradisional menjadi modern, tidak pula dapat menyulap negara dari
tertinggal menjadi maju dan terkemuka.
Seperti diakui banyak sosiolog, tidak sedikit masyarakat negara
modern yang tetap religius, baik secara individual maupun
konstitusional (Islam sebagai agama resmi negara), seperti Libya dan
Malaysia. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang telah menyatakan diri
sekular namun hingga kini masih saja belum tergolong sebagai negara
maju, seperti Marokko dan Turki.
Di samping itu, sekularisme sebagai ideologi politik pada dasarnya
tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap
kekuasaan politik sebagai sarana penegakkan agama. Sebagaimana
disinyalir oleh Bernard Lewis, sejak zaman Nabi Muhammad saw, umat
Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Rasulullah
sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw tidak
mempolitisir agama, melainkan mengagamakan politik, dalam arti politik
untuk kepentingan agama, bukan agama untuk kepentingan politik.
“Dalam pengalaman Umat Islam generasi pertama, sebagaimana telah
dilestarikan dan direkam untuk generasi sesudahnya, kebenaran agama dan
kekuasaan politik terkait erat tak terpisahkan. Yang disebut pertama
mensucikan yang terakhir, sedang yang disebut terakhir mendukung yang
pertama,” tegas Lewis dalam bukunya, the Crisis of Islam ( London ,
2003, hlm. 6). Akhirul kalam, masyarakat tidak mesti menjadi sekular
untuk menjadi modern.
*)Penulis adalah peneliti INSISTS, dan dosen Perbandingan Agama di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia
artikel ini terlalu berat untuk sy Pak..nalar sy blm mampu menjangkaunya. Tetapi bila disuruh memilih, tentu saya akan memilih "Religius". Sekuler? No...No... No...!!
ReplyDelete