Ujian Nasional tahun ini barangkali bisa disebut Ujian yang paling heboh. Mengapa disebut paling heboh ??? Dari informasi kawan guru-guru yang mengajar di beberapa sekolah , informasi anak yang kebetulan bersekolah di suatu institusi pendidikan, dan di tempat penulis sendiri mengajar, ada satu kemiripan momen pada saat acara pelepasan siswa, yakni pada saat diumumkan siswa yang meraih 'the best ten' dalam perolehan nilai UN. Selalu terdengar nada minor, ....'huuuuuuu', kagak mungkin...., mustahilllll !!!!, dagelan !!!. Koor para siswa yang hadir di acara pelepasan siswa yang terjadi di sebagian (besar) sekolah itu menyiratkan hal yang sama. Mereka mencibir, memaki dan memustahilkan perolehan nilai UN dari para 'the best ten'. Mereka tau betul tentang keseharian perilaku dan kemampuan kognitf para peraih 'the best ten' tersebut. Jarang masuk sekolah, trouble maker, dan seribu julukan negatif lain melekat di pundak mereka.
Nilai-nilai mata pelajaran eksak menjadi sumber keheboha , puluhan bahkan ratusan siswa memperoleh nilai maksimal alias dapat nilai 10. Heboh memang .....!!!! Beberapa orang rekan guru mensyukuri akan peroleh nilai-nilai UN yang dahsyat ini tapi lebih banyak lagi yang prihatin, geram dan marah. Dari mana siswa-siswa mereka mendapatkan nilai 10 ??? Para guru tahu betul kualitas intelektual anak didiknya. Perolehan nilai 10 bagi satu dua anak masih dimungkinkan, tapi kalau sampai puluhan atau ratusan orang ?????
Kasus terbongkarnya nyontek berjamaah yang dikomandani oleh para pekerja pendidikan di Surabaya menjadi indikasi kuat bahwa ada yang tidak beres dengan hasil UN tahun ini. Entahlah ada kemungkian kasus Surabaya merupakan sebuah gunung es di lautan yang terlihat 'nongol sedikit' di permukaan. Dan tampaknya pendidikan karakter tidak hanya diberikan kepada siswa, tapi juga kepada para guru (yang mempunyai hobi dadakan memberikan jawaban saat UN kepada para siswanya), kepada kepala sekolah (yang khawatir peringkat sekolahnya anjlok), dan kepada para kepala dinas pendidikan (yang khawatir pamor daerahnya turun atau takut jabatannya dicopot mendadak oleh bupati/walikota).
Para pemutus kebijakan pendidikandi tingkat pusat harus sering turun ke kantong-kantong penduduk yang anak-anaknya mengikuti UN (tanpa seremonial alias menyamar sebagai rakyat jelata). Betapa banyak orang tua yang kerepotan menyuruh anak-anaknya untuk belajar saat UN. Malam pertama anak masih bisa dipaksakan untuk belajar, tapi malam kedua, mereka menolak keras untuk belajar ......seraya berdalih "buat apa belajar, toh sekolah sudah menyiapkan jawabannya !!!".
Kita para guru, tampaknya memang harus belajar lagi pendidikan karakter dan juga tentang definisi 'menolong anak'. Alih-alih menolong (mungkin dalam jangka pendek), sebenarnya kita meracuni mereka dengan pendidikan yang buruk. Secara tidak langsung kita menciptakan monster-monster koruptor masa depan. Idealisme, akhirnya menjadi kata yang semakin sayup-sayup terdengar di telinga para pekerja pendidikan.
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini