Esok hari, siswa-siswa
SMA kita akan menghadapi Ujian Nasional, dan seminggu kemudian, siswa-siswa SMP
yang kena giliran mengikuti Ujian Nasional.
Berbagai isu kejujuran
menjadi topik hangat yang melekat pada Ujian Nasional kali ini. Tidak tanggung-tanggung,
isu itupun membuat pemerintah merasa perlu menegaskannya melalui POS tentang
penyelenggaran Ujian Nasional.
Dalam POS Ujian
Nasional yang menjadi dasar penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun 2012 ini,
pemerintah merasa perlu untuk menambahkan sebuah item dalam tata tertib peserta
Ujian yang tidak pernah ada dalam tata tertib tahun-tahun sebelumnya. Butir baru
tersebut berbunyi “ Setiap Peserta UN wajib menandatangani surat penyataan
MENGERJAKAN UN DENGAN JUJUR”. Bahkan dalam POS tersebut, juga tercetak dalam
huruf kapital sebuah kalimat yang harus ditempel pada ruang UN, yaitu “DILARANG
MASUK SELAIN PENGAWAS DAN PESERTA”.
Berangkat dari
pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, maka kekhawatiran pemerintah akan
kejujuran pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini memang sangat beralasan. Bahkan saya
mendapat informasi bahwa pejabat-pejabat pendidikan, seperti Kepala Sekolah,
Kepala UPT, Kepala Dinas, Ketua dewan Pendidikan, dan lain-lain diambil
sumpahnya untuk menyelenggarakan UN JUJUR dan BERPRESTASI.
Akankah penyelenggaraan
UN tahun ini akan benar-benar berlangsung JUJUR di semua sekolah dari pelosok
hingga kota? Saya termasuk yang pesimis akan hal tersebut, sebab rancangan
ketidakjujuran sudah dimulai oleh sekolah saat pemberian nilai raport dan nilai
US. Bagi saya, dasar pertimbangannya sangat masuk akal “Biarkan siswa tidak
lulus karena UN, asal jangan tidak lulus karena Nilai Sekolah”. Sekalipun batin
saya sebetulnya tidak dapat menerima hal tersebut, sebab sebagai seorang guru,
saya berharap semuanya berlangsung apa adanya.
Sebagai seorang guru,
saya sangat berharap akan kejujuran tersebut. Karena dengan kejujuran itulah
yang akan membuat siswa kita berusaha untuk belajar dengan giat dan memberikan
perhatian sempurna terhadap arahan dan bimbingan gurunya. Tanpa adanya
kejujuran itu, siswa akan acuh tak acuh terhadap arahan dan bimbingan dari
gurunya.
Akibat dari beberapa
ketidakjujuran pada tahun-tahun sebelumnya, saya merasakan betul betapa
kurangnya perhatian siswa terhadap arahan dan bimbingan guru. Siswa sepertinya
sudah tidak merasa perlu lagi akan yang namanya belajar.
Kepercayaan kepada
guru pun mulai berkurang. Soal UN yang nota bene adalah alat bagi guru untuk
memantau keberhasilan siswanya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran sudah
tidak boleh disentuh oleh guru lagi, pemerintah lebih mempercayai pihak
kepolisian sebagai pengaman soal UN. Guru-guru mata pelajaran UN juga dilarang
untuk berada di tempat ujian saat UN berlangsung. Sebagai guru mata pelajaran
UN (saya mengajar Matematika) saya pun merasa kurang dipercaya, atau lebihnya
saya merasa bahwa saya dianggap Guru yang Tidak Jujur.
Semula saya mendukung
bahwa UN sebaiknya dikembalikan kepada Guru. Namun ketika para pelaksana
pendidikan di daerah melawan hal tersebut dengan Ketidakjujuran, maka saya pun
mulai berpikir ulang. Akankah ketika UN dikembalikan kepada, maka UN jujur akan
terlaksana?
Saya menjadi linglung
ketika memikirkan jawaban hal tersebut, berbagai kepentingan sepertinya akan
tetap mewadahi setiap penyelenggaran UN, baik UN oleh Pemerintah maupun UN oleh
Sekolah.
Lantas bagaimana
sebaiknya????
Pak Guru Yusuf, biarlah yang lain tidak jujur, tetapi Bapak, tetaplah menjadi guru yang jujur. Dengan demikian, Bapak menjadi 'lilin di tengah kegelapan'. Jabat erat
ReplyDelete