Pemilihan Gubernur
DKI Jakarta memunculkan fenomena tumbangnya eksistensi dari partai politik.
Besarnya dukungan partai politik sama sekali bukan jaminan bagi seorang calon
kepala daerah untuk bisa memenangi pilkada.
Setelah secara mengejutkan hanya menempati urutan kedua dalam putaran pertama Pemilihan Gubernur Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli mencoba mencari dukungan dari parpol yang calonnya tersingkir di putaran pertama. Kita melihat bagaimana Foke dan Nara mengikat kontrak politik dengan Partai Golongan Karya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Dengan dukungan itu, Foke dan Nara berharap masyarakat akan berpaling kepada mereka. Setidaknya dengan dukungan mayoritas suara di DPRD, mereka bisa menjanjikan terciptanya stabilitas politik karena tidak akan ada gangguan politik kepada gubernur.
Namun masyarakat terlanjur tidak mempercayai semua itu. Di perpolitikan nasional, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang didukung lebih 70 persen kekuatan politik tetap saja tidak berdaya. Koalisi besar hanya berlaku dalam pembagian kekuasaan, tetapi tidak pada upaya untuk menyejahterakan masyarakat.
Masyarakat malah melihat koalisi besar hanya dipakai sebagai alat untuk membagi-bagi kekayaan di antara mereka. Masyarakat melihat bagaimana berbagai kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi parpol terjadi. Ketika korupsinya terungkap, mereka berusaha untuk saling melindungi.
Para politisi tidak pernah mau menyadari bahwa masyarakat sekarang ini semakin cerdas. Mereka mencatat semua perilaku politisi yang hanya memperkaya diri sendiri dan tidak punya malu ketika kasus mereka terungkap.
Semua catatan tentang keburukan partai politik kemudian ditunjukkan ketika mereka menggunakan hak suaranya atau ketika mengomentari hal-hal yang menjadi pembicaraan masyarakat. Kalau kita jeli memperhatikan, maka bisa dilihat kekesalan masyarakat terhadap partai politik.
Anehnya para politisi tidak pernah mau menyadari kenyataan itu. Mereka tetap saja asyik dengan dirinya. Seakan-akan masyarakat adalah kumpulan orang yang bisa dengan mudah dibodohi. Mereka asyik dengan retorika bahwa politisi hadir untuk membela kepentingan rakyat.
Oleh karena itu ketika koalisi besar dilakukan Foke dan Nara, kita sejak awal melihat bahwa langkah itu tidak akan efektif. Bahkan salah-salah langkah itu justru menjadi blunder karena masyarakat justru akan semakin antipati.
Dalam kolom ini kita pernah menyampaikan bahwa partai-partai politik yang semula mengusung calonnya untuk maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta, akan dipaksa menelan pil pahit kedua. Alasannya sederhana, bagaimana partai-partai politik yang semula menyerang kelemahan kepemimpinan Foke sebagai gubernur, tiba-tiba bisa menganggap Foke sebagai orang yang paling pantas memimpin kembali Jakarta.
Banyak pihak menduga bahwa dukungan yang diberikan parpol-parpol itu lebih dilatarbelakangi politik transaksional. Hanya saja dugaan itu pasti disangkal dengan mengatakan tidak ada politik uang dalam pengalihan dukungan kepada pasangan Foke dan Nara.
Sekali lagi masyarakat sekarang semakin cerdas. Mereka menggunakan akal sehat dalam menilai keadaan. Bahkan mereka masih memiliki hati nurani ketika akan mengambil sikap politik. Sudah kenyang mereka dibodohi oleh para politisi yang selalu berbicara soal kepentingan rakyat, namun sebenarnya hanya memikirkan dirinya sendiri.
Kemarin kita melihat sendiri bagaimana kemudian masyarakat mengambil sikap. Mereka tidak melihat lagi faktor parpol ketika harus mengambil keputusan. Mereka lebih memilih sosok pribadi yang bisa mereka percayai untuk tidak akan mengkhianati lagi kepercayaan mereka.
Itu bisa dilihat langsung dari hasil pemungutan suara yang dilakukan kemarin. Di TPS dekat kediaman Foke misalnya, ia hanya bisa unggul 118 melawan 111 suara. Sebuah margin yang tidak signifikan, yang bisa diartikan bahwa di lingkungan sekitar Foke saja, masyarakat tidak lagi memberikan kepercayaan kepada gubernur petahana.
Apalagi jika kita lihat hasil pemungutan suara di TPS tempat Nara tinggal. Masyarakat di Jakarta Timur memilih pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur mereka. Sebuah simbolisasi bahwa koalisi besar yang dibangun tidak memberi arti apa pun dalam perjuangan mereka menuju Balai Kota Jakarta.
Fenomena yang terjadi di Jakarta ini seharusnya menjadi bahan refleksi parpol-parpol. Bahwa harus ada perbaikan besar-besaran apabila mereka masih ingin mendapat dukungan rakyat pada Pemilihan Umum 2014 mendatang. Parpol harus berani menyingkirkan kader-kader mereka yang tidak amanah dan hanya memperkaya diri sendiri.
Jangan menganggap bahwa masyarakat tidak tahu dengan apa yang dilakukan para politisi yang korup itu. Mereka menyimpan semua catatan itu dan mereka akan menunjukkan kembali sikapnya pada Pemilu 2014 nanti.
Setelah secara mengejutkan hanya menempati urutan kedua dalam putaran pertama Pemilihan Gubernur Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli mencoba mencari dukungan dari parpol yang calonnya tersingkir di putaran pertama. Kita melihat bagaimana Foke dan Nara mengikat kontrak politik dengan Partai Golongan Karya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Dengan dukungan itu, Foke dan Nara berharap masyarakat akan berpaling kepada mereka. Setidaknya dengan dukungan mayoritas suara di DPRD, mereka bisa menjanjikan terciptanya stabilitas politik karena tidak akan ada gangguan politik kepada gubernur.
Namun masyarakat terlanjur tidak mempercayai semua itu. Di perpolitikan nasional, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang didukung lebih 70 persen kekuatan politik tetap saja tidak berdaya. Koalisi besar hanya berlaku dalam pembagian kekuasaan, tetapi tidak pada upaya untuk menyejahterakan masyarakat.
Masyarakat malah melihat koalisi besar hanya dipakai sebagai alat untuk membagi-bagi kekayaan di antara mereka. Masyarakat melihat bagaimana berbagai kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi parpol terjadi. Ketika korupsinya terungkap, mereka berusaha untuk saling melindungi.
Para politisi tidak pernah mau menyadari bahwa masyarakat sekarang ini semakin cerdas. Mereka mencatat semua perilaku politisi yang hanya memperkaya diri sendiri dan tidak punya malu ketika kasus mereka terungkap.
Semua catatan tentang keburukan partai politik kemudian ditunjukkan ketika mereka menggunakan hak suaranya atau ketika mengomentari hal-hal yang menjadi pembicaraan masyarakat. Kalau kita jeli memperhatikan, maka bisa dilihat kekesalan masyarakat terhadap partai politik.
Anehnya para politisi tidak pernah mau menyadari kenyataan itu. Mereka tetap saja asyik dengan dirinya. Seakan-akan masyarakat adalah kumpulan orang yang bisa dengan mudah dibodohi. Mereka asyik dengan retorika bahwa politisi hadir untuk membela kepentingan rakyat.
Oleh karena itu ketika koalisi besar dilakukan Foke dan Nara, kita sejak awal melihat bahwa langkah itu tidak akan efektif. Bahkan salah-salah langkah itu justru menjadi blunder karena masyarakat justru akan semakin antipati.
Dalam kolom ini kita pernah menyampaikan bahwa partai-partai politik yang semula mengusung calonnya untuk maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta, akan dipaksa menelan pil pahit kedua. Alasannya sederhana, bagaimana partai-partai politik yang semula menyerang kelemahan kepemimpinan Foke sebagai gubernur, tiba-tiba bisa menganggap Foke sebagai orang yang paling pantas memimpin kembali Jakarta.
Banyak pihak menduga bahwa dukungan yang diberikan parpol-parpol itu lebih dilatarbelakangi politik transaksional. Hanya saja dugaan itu pasti disangkal dengan mengatakan tidak ada politik uang dalam pengalihan dukungan kepada pasangan Foke dan Nara.
Sekali lagi masyarakat sekarang semakin cerdas. Mereka menggunakan akal sehat dalam menilai keadaan. Bahkan mereka masih memiliki hati nurani ketika akan mengambil sikap politik. Sudah kenyang mereka dibodohi oleh para politisi yang selalu berbicara soal kepentingan rakyat, namun sebenarnya hanya memikirkan dirinya sendiri.
Kemarin kita melihat sendiri bagaimana kemudian masyarakat mengambil sikap. Mereka tidak melihat lagi faktor parpol ketika harus mengambil keputusan. Mereka lebih memilih sosok pribadi yang bisa mereka percayai untuk tidak akan mengkhianati lagi kepercayaan mereka.
Itu bisa dilihat langsung dari hasil pemungutan suara yang dilakukan kemarin. Di TPS dekat kediaman Foke misalnya, ia hanya bisa unggul 118 melawan 111 suara. Sebuah margin yang tidak signifikan, yang bisa diartikan bahwa di lingkungan sekitar Foke saja, masyarakat tidak lagi memberikan kepercayaan kepada gubernur petahana.
Apalagi jika kita lihat hasil pemungutan suara di TPS tempat Nara tinggal. Masyarakat di Jakarta Timur memilih pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur mereka. Sebuah simbolisasi bahwa koalisi besar yang dibangun tidak memberi arti apa pun dalam perjuangan mereka menuju Balai Kota Jakarta.
Fenomena yang terjadi di Jakarta ini seharusnya menjadi bahan refleksi parpol-parpol. Bahwa harus ada perbaikan besar-besaran apabila mereka masih ingin mendapat dukungan rakyat pada Pemilihan Umum 2014 mendatang. Parpol harus berani menyingkirkan kader-kader mereka yang tidak amanah dan hanya memperkaya diri sendiri.
Jangan menganggap bahwa masyarakat tidak tahu dengan apa yang dilakukan para politisi yang korup itu. Mereka menyimpan semua catatan itu dan mereka akan menunjukkan kembali sikapnya pada Pemilu 2014 nanti.
Sumber : Suryopratomo
No comments:
Post a Comment
Jika ada yang ingin disampaikan tentang isi blog ini, mohon kiranya berkenan untuk memberikan komentar di sini